Sabtu, 11 Februari 2012

Tari Topeng Patenteng

TARI TOPENG PATENTENG

(Desa Patenteng, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura)

dening Arif Hartarta

A. Pengantar

Tari Topeng duk duk atau tari topeng Patenteng merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Nusantara. Nama Patenteng diadobsi dari nama sebuah desa di Madura tempat kesenian tersebut dikenal luas oleh masyarakat. Sejauh penelusuran penyusun, tari topeng duk duk ini belum begitu pupuler, baik dikalangan seniman, akademisi seni, budayawan, pelajar, apalagi umum. Sejarah tari duk duk begitu semrawut, sehingga sulit dilacak sejarahnya. Bahkan, di jejaring internet, informasi tentang jenis tarian ini belum penyusun temukan ketika melakukan searching.

Latar belakang (setting tempat) tari Patenteng menunjukkan suasana pedesaan dengan segala kesederhanaannya. Biasanya, kesenian rakyat adalah bentuk protes sosial kawula terhadap kaum ningrat. Namun begitu, dalam kasus ini, penyusun belum menemukan bukti-bukti historis tentang pendapat yang bersifat generalisasi tersebut. Tafsir historis sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal membentuk asumsi dasar untuk menafsirkan tema besar yang diangkat dalam berbagai produk kebudayaan di berbagai belahan dunia. Essay ini secara singkat akan mencoba menafsirkan Tari Patenteng dari sudut pandang kritik seni.

B. Tari Patenteng

Unity atau keutuhan teks dan konteks dalam melihat karya seni merupakan syarat utama untuk memahami sedekat mungkin makna sebuah karya seni. Unity dalam tari Petenteng dalam rekaman yang penyusun dapatkan dibangun oleh beberapa komponen baku layaknya bentuk seni tari lainnya, yaitu:

1. Penari

2. Properti (topeng, kostum)

3. Pemusik

4. Instrument (alat musik)

Adapun alat musik yang digunakan dalam pertunjukan tari Patenteng adalah:

1. Dua (2) pencon boning yang bernama ningnong

2. Satu (1) kempul

3. Lima duk-duk

Tari Patenteng terlihat sederhana. Dalam tarian ini ada enam orang pemusik. Lima orang memukul alat musik dug-dug (menyerupai kentongan) dalam berbagai ukuran, sedangkan yang seorang memukul kempul yang digantung ala kadarnya.

Ansamble musik adalah dug dug, maka kesenian ini disebut juga dengan nama tari duk duk. Duk duk yang paling besar disebut thong. Yang berukuran sedang disebut ting kating, sedangkan yang berukuran kecil disebut thuk-thuk. Cara memainkan ning-nong diletakkan di atas tanah dan kemudian dipukul seperti instrument bonang. Masing-masing duk duk memiliki ritme yang berbeda. Jika dicermati, ruh musiknyapun terdengar seperti alunan music dalam kesenian jathilan.

Seorang penari laki-laki bertopeng, berkostum wanita (berkerudung dan memakai kebaya) memulai performancenya. Setelah terbawa suasana nyaman, penari laki-laki bertopeng dengan pakaian sederhana yang serba hitam berdiri untuk ikut menari. Jika diamati lebih teliti, si penari pemeran wanita tersebut terkesan begitu lepas, bebas, total. Sepertinya ia tidak mempedulikan irama dan tempo musik. Gerakannya sedikit kaku, dan tidak sesuai dengan ketukan musik. Hal ini mungkin sekali dikarenakan oleh beberaopa faktor, antara lain adalah (1) kurangnya pengetahuan tentang musik/gamelan, (2) kurangnya rutinitas berlatih. Memang ada kalanya gerakannya sesuai dengan ketukan musik, namun secara cepat pula kesadaran ketukan itu hilang dari si penari.

Penari topeng laki-laki berpakaian hitam juga menunjukkan bahwa ia kurang mengerti tentang kesenian tari pada umumnya. Yah, itu wajar, karena pola tari yang dianggap adiluhung adalah produk istanasentris, produk kaum priyayi, kaum ningrat. Penari laki-laki ini melakukan semua gerakan tari secara improvisasi. Ia begitu total menikmati acara tersebut setelah cukup lama menunggu kesempatan berdiri di karpet biru untuk menggoyangkan tubuhnya. Terlihat dalam hasil rekaman bahwa yang tampak dalam pertunjukan itu didominasi oleh golongan paroh baya dan ditonton oleh anak-anak yang belum dewasa. Apakah nilai yang terkandung di dalamnya? Untuk menjawab misteri ini, sudah selayaknya dilakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk binaan di wilayah desa Patenteng.

Secara keseluruhan, gerakan yang dibawakan oleh si penari pemeran wanita dan lelaki paroh baya tersebut sekilas lalu tidak memiliki pola seperti pada umumnya bentuk seni tari. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pola tarian tersebut memakai tertentu yang menyerupai pola kesenian silat. Di panggung yang hanya beralaskan karpet berwarna biru, penyusun melihat tiga topeng yang belum digunakan untuk menari. Keunikan tari Patenteng mirip dengan tari tayub, dimana para penonton ikut berpartisipasi aktif menari. Penonton ikut menjadi bagian dari konteks tarian ini secara unity. Pertunjukan tari topeng Patenteng dikelilingi oleh masyarakat disekitar altar pertunjukkannya, artinya bahwa penonton bebas memilih tempat untuk menyaksikan. Satu hal lagi yang menarik perhatian, yakni mustahil apabila tari tersebut hanyalah pertunjukan yang bersifat mencari kesenangan semata. Penyusun mensinyalir bahwa tarian tersebut, selain menyiratkan kondisi sosial masyarakatnya, merupakan bentuk praktik upacara local layaknya bersih desa di wilayah Surakarta dan beberapa kabupaten di sekitarnya.

Sekilas dalam rekaman terlihat back ground tempat pertunjukan adalah tanaman bambu yang cukup lebat. Di sudut kiri terlihat rumah masyarakat yang masih terbuat dari anyaman bambu. Terlepas dari kondisi tanah setempat yang mungkin tidak cocok untuk didirikan rumah dengan beton/batu bata (tanah bergerak), latar belakang masyarakat Patenteng termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan mobilitas rendah. Memang pendapat ini semata-mata hanyalah pengamatan tidak langsung terhadap objek, karena penyusun belum pernah melakukan penelitian dan penyelidikan terhadap objek.

C. Renungan

Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, sangat disayangkan akan kurangnya media promosi atau pengenalan tari Topeng Patenteng ini. Sesungguhnya kesenian rakyar mampu menjadi aset wisata budaya jika dikelola dengan baik, utamanya oleh dinas Kebudayaan. Apapun bentuknya, asal tidak keluar dari rel etik dan estetik, semua kesenian membawa nilai didik bagi masyarakatnya, mengingat bahwa tidak ada karya (seni) ciptaan manusia yang lahir dengan sendirinya tanpa adanya stimulan dari lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar