Sabtu, 11 Februari 2012

Tari Topeng Patenteng

TARI TOPENG PATENTENG

(Desa Patenteng, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura)

dening Arif Hartarta

A. Pengantar

Tari Topeng duk duk atau tari topeng Patenteng merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Nusantara. Nama Patenteng diadobsi dari nama sebuah desa di Madura tempat kesenian tersebut dikenal luas oleh masyarakat. Sejauh penelusuran penyusun, tari topeng duk duk ini belum begitu pupuler, baik dikalangan seniman, akademisi seni, budayawan, pelajar, apalagi umum. Sejarah tari duk duk begitu semrawut, sehingga sulit dilacak sejarahnya. Bahkan, di jejaring internet, informasi tentang jenis tarian ini belum penyusun temukan ketika melakukan searching.

Latar belakang (setting tempat) tari Patenteng menunjukkan suasana pedesaan dengan segala kesederhanaannya. Biasanya, kesenian rakyat adalah bentuk protes sosial kawula terhadap kaum ningrat. Namun begitu, dalam kasus ini, penyusun belum menemukan bukti-bukti historis tentang pendapat yang bersifat generalisasi tersebut. Tafsir historis sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal membentuk asumsi dasar untuk menafsirkan tema besar yang diangkat dalam berbagai produk kebudayaan di berbagai belahan dunia. Essay ini secara singkat akan mencoba menafsirkan Tari Patenteng dari sudut pandang kritik seni.

B. Tari Patenteng

Unity atau keutuhan teks dan konteks dalam melihat karya seni merupakan syarat utama untuk memahami sedekat mungkin makna sebuah karya seni. Unity dalam tari Petenteng dalam rekaman yang penyusun dapatkan dibangun oleh beberapa komponen baku layaknya bentuk seni tari lainnya, yaitu:

1. Penari

2. Properti (topeng, kostum)

3. Pemusik

4. Instrument (alat musik)

Adapun alat musik yang digunakan dalam pertunjukan tari Patenteng adalah:

1. Dua (2) pencon boning yang bernama ningnong

2. Satu (1) kempul

3. Lima duk-duk

Tari Patenteng terlihat sederhana. Dalam tarian ini ada enam orang pemusik. Lima orang memukul alat musik dug-dug (menyerupai kentongan) dalam berbagai ukuran, sedangkan yang seorang memukul kempul yang digantung ala kadarnya.

Ansamble musik adalah dug dug, maka kesenian ini disebut juga dengan nama tari duk duk. Duk duk yang paling besar disebut thong. Yang berukuran sedang disebut ting kating, sedangkan yang berukuran kecil disebut thuk-thuk. Cara memainkan ning-nong diletakkan di atas tanah dan kemudian dipukul seperti instrument bonang. Masing-masing duk duk memiliki ritme yang berbeda. Jika dicermati, ruh musiknyapun terdengar seperti alunan music dalam kesenian jathilan.

Seorang penari laki-laki bertopeng, berkostum wanita (berkerudung dan memakai kebaya) memulai performancenya. Setelah terbawa suasana nyaman, penari laki-laki bertopeng dengan pakaian sederhana yang serba hitam berdiri untuk ikut menari. Jika diamati lebih teliti, si penari pemeran wanita tersebut terkesan begitu lepas, bebas, total. Sepertinya ia tidak mempedulikan irama dan tempo musik. Gerakannya sedikit kaku, dan tidak sesuai dengan ketukan musik. Hal ini mungkin sekali dikarenakan oleh beberaopa faktor, antara lain adalah (1) kurangnya pengetahuan tentang musik/gamelan, (2) kurangnya rutinitas berlatih. Memang ada kalanya gerakannya sesuai dengan ketukan musik, namun secara cepat pula kesadaran ketukan itu hilang dari si penari.

Penari topeng laki-laki berpakaian hitam juga menunjukkan bahwa ia kurang mengerti tentang kesenian tari pada umumnya. Yah, itu wajar, karena pola tari yang dianggap adiluhung adalah produk istanasentris, produk kaum priyayi, kaum ningrat. Penari laki-laki ini melakukan semua gerakan tari secara improvisasi. Ia begitu total menikmati acara tersebut setelah cukup lama menunggu kesempatan berdiri di karpet biru untuk menggoyangkan tubuhnya. Terlihat dalam hasil rekaman bahwa yang tampak dalam pertunjukan itu didominasi oleh golongan paroh baya dan ditonton oleh anak-anak yang belum dewasa. Apakah nilai yang terkandung di dalamnya? Untuk menjawab misteri ini, sudah selayaknya dilakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk binaan di wilayah desa Patenteng.

Secara keseluruhan, gerakan yang dibawakan oleh si penari pemeran wanita dan lelaki paroh baya tersebut sekilas lalu tidak memiliki pola seperti pada umumnya bentuk seni tari. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pola tarian tersebut memakai tertentu yang menyerupai pola kesenian silat. Di panggung yang hanya beralaskan karpet berwarna biru, penyusun melihat tiga topeng yang belum digunakan untuk menari. Keunikan tari Patenteng mirip dengan tari tayub, dimana para penonton ikut berpartisipasi aktif menari. Penonton ikut menjadi bagian dari konteks tarian ini secara unity. Pertunjukan tari topeng Patenteng dikelilingi oleh masyarakat disekitar altar pertunjukkannya, artinya bahwa penonton bebas memilih tempat untuk menyaksikan. Satu hal lagi yang menarik perhatian, yakni mustahil apabila tari tersebut hanyalah pertunjukan yang bersifat mencari kesenangan semata. Penyusun mensinyalir bahwa tarian tersebut, selain menyiratkan kondisi sosial masyarakatnya, merupakan bentuk praktik upacara local layaknya bersih desa di wilayah Surakarta dan beberapa kabupaten di sekitarnya.

Sekilas dalam rekaman terlihat back ground tempat pertunjukan adalah tanaman bambu yang cukup lebat. Di sudut kiri terlihat rumah masyarakat yang masih terbuat dari anyaman bambu. Terlepas dari kondisi tanah setempat yang mungkin tidak cocok untuk didirikan rumah dengan beton/batu bata (tanah bergerak), latar belakang masyarakat Patenteng termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan mobilitas rendah. Memang pendapat ini semata-mata hanyalah pengamatan tidak langsung terhadap objek, karena penyusun belum pernah melakukan penelitian dan penyelidikan terhadap objek.

C. Renungan

Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, sangat disayangkan akan kurangnya media promosi atau pengenalan tari Topeng Patenteng ini. Sesungguhnya kesenian rakyar mampu menjadi aset wisata budaya jika dikelola dengan baik, utamanya oleh dinas Kebudayaan. Apapun bentuknya, asal tidak keluar dari rel etik dan estetik, semua kesenian membawa nilai didik bagi masyarakatnya, mengingat bahwa tidak ada karya (seni) ciptaan manusia yang lahir dengan sendirinya tanpa adanya stimulan dari lingkungan.

JAVANESE MANTRA

Kamis, 16 Juli 2009

seni sastra budaya

KONTEMPLASI JAGAD SENI DAN SASTRA

Oleh: Arif Hartarta

Abstrak

Karya sastra memiliki beberapa jenis yaitu karya sasra tulis, karya sastra lisan, dan karya sastra sebagian lisan. Lahirnya sebuah karya sastra selalu dipengaruhi oleh keadaan, perubahan kondisi sosial budaya di mana karya sastra itu lahir. Karya sastra merupakan refleksi sastrawan terhadap fenomena sekitarnya. Memahami karya sastra selalu diperlukan aneka kebijakan disiplin. Karya sastra memiliki beberapa kawasan; (1) sastra untuk seni sastra, (2) sastra untuk masyarakat, (3) sastra untuk politik, (4) sastra untuk agama. Karya sastra bisa diklasifikasikan menjadi tiga: (1) klasik, (2) borjuis, dan (3) radikal. Karya sastra memiliki hubungan erat dengan dunia seni, tentunya seni sastra. Sastrawan atau kreator selalu mencoba menerjemahkan rentetan peristiwa. Kemampuan semacam bisa diperoleh dengan mengasah ketajaman intuisi sang sastrawan. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana sastrawan menghadapi dunia kapital dan bagaimana menangkis serangan global dengan kekuatan lokal. Jawaban atas masalah tersebut adalah berfikir global berperilaku lokal.

1. Pendahuluan

Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Karya sastra berbeda dengan karangan-karangan yang lain. Ia berbeda dengan buku-buku sejarah, walaupun kadang-kadang di dalam karya sastra terkandung pula kebenaran-kebenaran yang bersifat sejarah. Ia tidak sama dengan buku matematika, walaupun kadang-kadang di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang logis. Ia juga tidak sama dengan buku-buku ilmu bumi, walaupun tidak jarang karya sastra yang mengambil lokasi daerah atau kota-kota yang dapat dijumpai di dalam peta. Karya sastra tidak dapat pula disamakan dengan buku-buku pelajaran agama, meskipun banyak karya sastra yang menampilkan nilai-nilai pendidikan moral yang berkualitas keagamaan. Karya sastra adalah filsafat. Karya sastra memiliki dunia sendiri. Ia merupakan pangejawantahan kehidupan hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitar dan dirinya sendiri. Karya sastra adalah kehidupan buatan atau rekaan sastrawan (S. Suharianta, 1982). Lebih lanjut ditegaskan oleh S. Suharianta bahwa:

“Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan berbagai dimensi dunia. Kebenaran di dalam karya sastra adalah kebenaran keyakinan, bukan kebenaran inderawi seperti yang kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari. Realitas hanyalah bahan mentah, ia hanya sumber pengambilan ilham. S. Suharianta mengatakan bahwa bahan-bahan dari realitas segala aspek kehidupan, untuk menjadi sebuah karya sastra masih diperlukan pengolahan dengan nilai-nilai yang lebih agung (halaman 11).

Aktivitas berkarya sastra di Nusantara sesungguhnya telah dimulai sejak jaman dinasti raja-raja Mataram kuno. Soetarno (1976) dalam bukunya berjudul “Peristiwa Sastra Indonesia”, mengatakan;

“Kesusasteraan lama berkembang sampai ± tahun 1800, disebut juga kesusasteraan jaman purba, yaitu kesusasteraan yang mencerminkan jaman sebelum adanya pengaruh India , adapun wujudnya berupa doa, mantra, silsilah, adat istiadat, dongeng-dongeng, kepercayaan dan lain-lain” (halaman 5).

Salah satu ciri khas karya sastra ialah bersifat imajinatif, maksudnya mampu menimbulkan citra atau bayangan-bayangan di dalam dimensi mental. Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran. Karya sastra dibagi menjadi dua jenis, yaitu karya sastra tertulis dan karya satra lisan. Karya sastra tulis seperti; puisi, prosa, novel, cerpen, cerbung, serat macapat, naskah-naskah drama yang kesemuanya memiliki karakteristik, unsur, jenis dan komitmen masing-masing. Karya sastra tulis kebanyakan masih diketahui siapa pengarangnya walaupun tidak jarang dijumpai beberapa naskah anonim dalam naskah-naskah sastra Jawa. Berbeda dengan sastra lisan yang memiliki ciri dan bentuk lain yang berbeda dengan karya sastra tulis dan tidak diketahui siapa pengarangnya.

Sastra lisan yang belum mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya merupakan milik masyarakat bersama, sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan atau peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan sastra sebelumnya (Andre Harjana, 1981:11). Dapatlah kiranya dikatakan bahwa munculnya sastra yang bersifat tanggapan itulah yang menyebabkan macam-macam versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun kelemahan daya ingat manusia juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra lisan. Perubahan versi itu dilakukan tentu saja dengan maksud agar dapat lebih sesuai dengan nafas dan tuntutan jaman yang terus berubah-ubah, sehingga dari bahan dan pangkal yang sama dapat tumbuh bermacam-macam syair atau cerita lisan karena perubahan lingkungan dan jaman.

Karya sastra puisi, geguritan menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh berbagai unsur pembangunnya. Dilain pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penggagasan, gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di luar pendekatan struktur, terdapat proses-proses atau rentetan peristiwa yang medorong kelahiran karya sastra maupun pengarangnya/kreator. Sebagai pemahaman dasar yaitu era klasik, sastra berarti kitab, atau buku ajaran yang berguna, namun dalam pengertian kontemporer, sastra merupakan simulacrum, representasi dari semua gejala, peristiwa jasmaniah dan atau lahiriah. Karya sastra tidak hanya menceritakan perihal kehidupan, tetapi juga merambah dunia setelah kematian (Mahabarata: Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa).

2. Anazir Dasar Pembangun Proses Kreatif Sang Kreator

2. 1 Bahasa

Bahasa merupakan media komunikasi paling efektif. Tugas sastrawan adalah memukul bahasa agar menjadi hidup, maka tidak heran apabila di beberapa karya sastra tulis mengandung unsur dramaturgi. Penyampaian karya sastra, baik lisan maupun tulis menggunakan media bahasa selalu melalui proses seleksi atau pemilihan kata. Diksi dan gaya bahasa menjadi stimulan bagi para pembaca dalam rangka membangkitkan daya imaginasi. Hal ini berarti sastrawan harus benar-benar teliti dan tepat dalam menggunakan pilihan kata. Sastrawan mencoba menggunakan kekuatan kata sebagai senjata menembus alam imaginasi, alam emosi penikmat, pembaca atau masyarakat penikmat. Kekuatan kata akan menjadi stimulan daya resap atau kapiler yang diharapkan mampu ngrogoh/ndudut rasa para pembaca atau penikmat. Tidak disangkal lagi bahwa di dalam karya sastra selalu mengandung kata-kata, atau berbahasa sugestive. Kenyataan tersebut bisa kita lihat dari pengaruh karya sastra terhadap masyarakat penikmatnya. Contoh adalah karya sastra yang berujud mantra.

Karya sastra merupakan mimikri dari kehidupan nyata yang telah diolah oleh para sastrawan dengan bumbu-bumbu bahasa. Tuhan menciptakan manusia, agar manusia hidup, Ia meniupkan ruh hidup. Begitu pula sastrawan, ia meniupkan ruh terhadap karya-karyanya. Selain kematian, bahasa (bahasa sakral) memiliki kekuatan yang benar-benar ditakuti oleh faham kapitalis (B. Anderson, 2001). Pernyataan senada dilontarkan pula oleh Subcomandante Marcos (2005) seorang pejuang pembebasan nasional Mexico (Zapatista) dalam sampul bukunya berjudul “Kata adalah Senjata” sebagai berikut:

“Adalah kata-kata

yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk

dan keluar dari diri kita.

Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang

ke tempat lain.

Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam.

Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita...

Inilah senjata kita saudara-saudaraku”

(Subcomandante Marcos, 12 Oktober 1995).

Bahasa yang dibangun dengan komponen diksi, gaya bahasa, sugesti ternyata mampu menjadi bukit kekuatan. Tidak mengherankan apabila seorang politikus selalu mendalami kemampuan orasi dan retorik. Dengan bahasa dan pilihan kata yang tepat, apa yang disampaikan penutur kepada khalayak akan mampu membakar semangat, mentransfer tujuan ke petutur. Namun apabila ada yang menyalahgunakan kekuatan bahasa, orang tersebut telah membuat orang lain menjadi pecundang.

Para pujangga tempo dulu (sebelum angkatan 45), harus memiliki kemampuan seperti; hawi sastra, hawi carita, mardi basa, ketiga julukan tersebut secara harfiah bisa diartikan sebagai seorang yang ahli mengolah sastra (keindahan bahasa), luas pengetahuannya (kaya akan ceritera), dan pandai memilih kata.

2. 2 Sosial Budaya

Culturalisme adalah pendekatan yang berpandangan bahwa dengan menganalisis budaya suatu masyarakat, bentuk-bentuk tekstual dan praktik-praktik budaya yang terdokumentasi, memungkinkan membangun kembali tingkah laku terpola (patterned behavior) dan konstelasi gagasan yang dimiliki bersama oleh para lelaki dan perempuan yang menghasilkan dan mengkonsumsi teks dan praktik-praktik masyarakat itu. Pendekatan ini merupakan human agency yang menekankan pada produksi aktif kebudayaan dan bukan pada konsumsi pasifnya.

Menurut Williams, penggunaan istilah budaya direfleksikan dalam tiga arus menurut perubahan historis, yaitu:

1. yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat.

2. yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni, dan teater). Dalam penggunaan ini budaya kerap diidentikkan dengan istilah ’kesenian’.

3. yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed), 2005)

Menurut Kroeber dan Kluckhohn ada enam pemahaman pokok mengenai budaya, yaitu:

1. definisi deskriptif: cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah kajian yang membentuk budaya.

2. definisi historis: cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya.

3. definisi normatif: bisa mengambil dua bentuk. Pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan-tindakan konkrit. Kedua, budaya menekankan pada peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.

4. definisi psikologis: cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya.

5. definisi struktural: mau menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkrit.

6. definisi genetis: definisi budaya yang melihat asal-usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antara manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Meski keenam pengertian pokok tersebut masih dipakai sampai sekarang, namun dalam ranah teori kebudayaan terdapat sejumlah pengertian yang biasanya berkisar pada tema-tema berikut:

1. kebudayaan cenderung diperlawankan dengan yang material, teknologis, dan berstruktur sosial.

2. kebudayaan dilihat sebagai ranah yang ideal, yang spiritual, dan nonmaterial.

3. ”otonomi kebudayaan” lebih mendapat penekanan.

4. sejumlah upaya dibuat untuk tetap berada pada zona netral-nilai, artinya tidak berat sebelah, misalnya menyamakan kebudayaan dengan kesenian.

Clifford Geertz dalam bukunya ’Tafsir Kebudayaan’ menulis; manusia adalah binatang-binatang yang diselimuti jaringan-jaringan makna yang dirajutnya sendiri. Bagi Geertz, sastra lisan (mitologi) merupakan salah satu formula pembangun struktur kebudayaan. Geertz melihat budaya sebagai ’lengkung simbolis’ yang dengannya seseorang bisa menciptakan dunia mereka yang bermakna dalam dua level sekaligus: emosi dan kognitif. Geertz juga memahami budaya sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan pendekatan hermeuneutis. Gerrtz menempuh metode hermeuniutika deskripsi tebal atau yang dikenal dengan istilah anthropology interpretativ. Metode Gerrtz ini mencoba menarik kesimpulan luas dari hal yang terkecil, tapi yang tersusun dari fakta-fakta yang padat.

Geertz mencoba memaparkan bagaimana membangun teori tafsir terhadap budaya. Semua bersifat prediktif. Bagi Gerrtz, analisis kebudayaan bukanlah pengetahuan eksperimental untuk mencari hukum-hukum, tetapi pengetahuan interpretatif untuk menemukan makna. Kebudayaan adalah mengitari manusia, yang menyerbu setiap aspek kehidupan. Budaya serentak konkret dan tersebar, dalam dan dangkal. Gerrtz mendeskripsikan studi kasus tentang fenomena sabung ayam di Bali mulai dari tentang ayam-nya, pemiliknya, penjudi, penonton, dan pertarunganya. Ia juga menceritakan melalui sistem simbol dan emosi yang terdapat di dalam ajang kumpul ritual itu. Gerttz mengggunakan pendekatan holistik. Baginya, sesungguhnya masyarakat , seperti kehidupan, memuat interpretasi-interpretasi diri mereka sendiri (Clifford Geertz, 2000).

Karya sastra dan sastrawan akan lahir dari keadaan sosial budaya di mana ia berada. Seorang sastrawan yang hidup terkurung dalam hegemoni dinastik, tentu saja karya-karya yang dihasilkan selalu menunjukkan, menggambarkan kondisi kehidupan istana, ambilah contoh mpu Prapanca. Dalam setiap karyanya selalu dibungkus dengan konsep dewa raja. Lain halnya dengan musisi legendaris Iwan Fals. Ia hidup dalam resim politik yang absolut sehingga karya-karyanya selalu bersifat satirisme. Keadaan sosial budaya yang selalu berubah-ubah merupakan kesepakatan sementara saja, namun ada pula yang menganggap bahwa kebudayaan tinggi merupakan kesepakatan agung.

3. Keberadaan Karya Sastra

3. 1 Sastra dalam Pemahaman Seni

Sebagai pengantar dalam paragraf ini, penyusun mengutip pernyataan lisan tradisional yang berkembang di kalangan seniman Jawa yang berbunyi ”Seni kuwi larang dituku duit, murah yen ditembung”, artinya bahwa karya seni itu pada hakikatnya sangat mahal hingga tidak bisa diukur dengan penghargaan berupa uang atau materi, tetapi sangatlah murah apabila hanya diminta. Edward Shills, seorang ahli ilmu sosiologi Amerika dewasa ini berpendapat bahwa awal mula tiga fungsi ilmuwan, seniman, agamawan masih dirangkap oleh satu orang yang dianggap paling bijak di dalam sukunya. Kita tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi kita mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut.

Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri kita. Dokumentasi sejarah perkembangan seni bisa di runut dari sejarah pengetahuan Yunani. Cita-cita pendidikan Yunani adalah mencapai keindahan. Sebelum penyusun mengutarakan uraian panjang lebar, ada sebuah pertanyaan praktis yang mungkin telah timbul dalam hati pembaca budiman. Sudah beberapa kali saya memakai istilah ”estetik” : pengalaman tentang keindahan saya samakan dengan pengalaman estetik. Apa artinya kata ”estetik” itu? Estetik berarti mengacu pada yang indah, artinya karya seni seharusnya bersifat indah. Namun makna indahpun sekarang telah kehilangan makna konvensionalnya. Para penganut poststruktur telah memberikan makna keindahan dengan wujud representasi lain, yaitu total dan tidak terikat dengan apapun.

Pada awal perkembangannya, alamlah yang merupakan sumber utama dari pengalaman estetik. Menurut pandangan Klasik itu pula, maka terjadinya suatu karya seni berpangkal pada pengalaman estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Pada saat pengalaman estetik manusia merasa bahagia, merasakan suatu ”ekstatis”. Tetapi saat itu mungkin hanya berlangsung selama beberapa detik, pasti tidak lama. Saat matahari yang sedang terbenam mewarnai awan-awan dengan warna-warni yang indah, mungkin hanya berlangsung selama sepuluh menit. Lalu habis. Lalu seniman ingin mengabadikan saat yang membahagiakan itu, dan terjadilah karya seni. Dan setiap kali ia memandang karyanya itu ia teringat kembali akan saat yang indah itu, karena karya itu bersifat simbolik; lewat lambang-lambang membangkitkan kembali, mengingatkannya kembali pada saat itu. Dan setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga menangkap isyarat-isyarat, lambang-lambang itu, dan dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang seniman.

Demikianlah secara sangat singkat dan sangat implistis, salah satu teori mengenai terjadinya sebuah karya seni. Nanti kita masih akan meninjau beberapa teori lain mengenai genesis atau riwayat terjadinya sebuah karya seni. Cukuplah di sini kita menyimpulkan, bahwa menurut teori manapun sang seniman ingin mengungkapkan isi hati dan pengalaman spiritualnya lewat lambang-lambang, entah lambang visual (lukisan, patung), entah lambang auditif (lewat pendengaran : bahasa sastra dan musik), entah langsung melalui lambang jasmani (seni tari, sikap badan).

3. 2 Sastra dalam Berbagai Ruang

Persoalan lain yang juga masih harus kita diskusikan ialah sejauh mana sebuah karya seni hanya menampilkan pengalaman tentang keindahan. Sejauh mana seni modern misalnya menimbulkan getaran keindahan dalam hati kita.

Karya sastra merupakan kendaraan paling luwes untuk berbagai macam kepentingan. Apakah sastra itu mengabdikan diri kepada keindahan, kaidah, dan kepentingan sastra itu sendiri, atau untuk pengabdiannya kepada masyarakat plural, atau untuk kepentigan agama atau bahkan untuk kepentigan politik. Satu persatu ruang keberadaan sastra akan penyusun paparkan seperti di bawah ini.

Sastra untuk seni sastra memiliki tujuan mencapai keindahan tertinggi. Nilai etik dan estetik sebisa mungkin adalah keindahan dan kaidah secara transenden maupun imanen. Isi karya sastra semacam biasanya melantukan keagungan alam semesta. Sifatnya netral, tidak diboncengi oleh kepentingan-kepentingan sebuah politik tertentu (budaya, agama, partai). Contoh karya sastra semacam adalah pocapan seorang dalang dalam menggambarkan keindahan alam yang sedang dilalui oleh seorang ksatria, atau pocapan yang menggambarkan, melukiskan keindahan pegunungan/pertapaan. Lain halnya dengan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat, karya sastra ini selalu memiliki standar etik masyarakat penghayatnya. Karya seperti ini biasanya menjadi sistem projektif yakni mengatur pola kehidupan sosial dan berbudaya masyarakatnya, juga sebagai cermin (kaca benggala) kehidupan masyarakatnya. Contoh karya sastra semacam ada di beberapa cerita rakyat, mantra, dan berbagai jenis sastra tulis; Ceritera rakyat ”Kutukan Bandung Bandawasa”, mantra bersih desa, cerbung ”Ayu Sri Rahayu” karya Yunani.

Sastra untuk agama selalu merujuk kepada kepentingan penyebarannya atau keagungan agama tersebut. Karya sastra ini berisi tentang cerita tokoh-tokoh agama beserta ajaran-ajaran yang disampaikan. Perlu diingat bahwa kitab suci tidak penulis golongkan sebagai karya sastra untuk menghindari kesalah fahaman persepsi. Contoh karya sastra seperti ini adalah: Novel ”Siddharta” karya Hermann Hesse, Serat Suluk Wujil, Serat Babaring Ngilmi Makrifat, Serat Panembah, dan masih banyak naskah yang menceritakan kisah para wali.

Lain halnya dengan sastra untuk politik. Karya sastra ini memang sengaja diiptakan untuk kepentingan golongan tertentu (elite politik). Sebagai contoh adalah mitologi Nyai Rara Kidul. Sebelum nama Panembahan Senapati naik daun, nama Nyai Roro Kidul sama sekali tidak di kenal oleh masyarakat, namun setelah Senapati menjadi penguasa baru mataram Islam, isu yang beredar luas bahwa Senopati bersekutu dengan kerajaan alam lain dengan jalan mengawini ratu pantai selatan itu.

Pemeran utama dalam ceritera ini adalah Panembahan Senapati (simbol Jawa), Nyai Rara Kidul (simbol pra-Islam), Sunan Kalijaga (simbol Islam). Senopati mengawini pemimpin makhluk halus untuk mengukuhkan legitimasi hierarki kekuasaanya sebagai raja Jawa baru, sedangkan menurut aturan Islam, hal tersebut adalah musrik. Namun pada kenyataanya, orang Jawa mengesahkan hal itu, dan Kalijaga’pun tidak mengutuk Senopati yang berstatus murid-nya atas peristiwa tersebut. Relasi antar ketiganya adalah relasi budaya yang dinamakan relasi kooperatif. Senapati mengawini Nyai Rara Kidul (makhluk halus), namun ia juga seorang murid dari Sunan Kalijaga yaitu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Apabila dilihat dari kacamata agama, tentu saja hal itu dianggap pelanggaran, namun pada kasus ini, hal tersebut adalah legal, tidak ada masalah, sah-sah saja (mungkin hanya dikhususkan bagi raja). Ketiga tokoh tersebut menjalin hubungan yang rekat, harmonis, sinkretis, tanpa terjadi konflik. Itulah salah satu fungsi mitos, yaitu menunjukkan pesan intelektual ”tanpa konflig”. Namun perlu diingat bahwa mitologi di atas tidak lepas dari pengaruh hegemoni Mataram Islam era Senopati. Mungkin sekali bahwa cerita itu sengaja dibuat untuk memperkuat legitimasi pemerintahan Senapati sebagai raja baru, yaitu transisi dari Pajang ke Mataram agar rakyat benar-benar berserah dan mempercayakan semua perlindungan atau bernaung ke Mataram.

Para pembaca yang budiman tentu akan bertanya-tanya ”kalau begitu apa parameter yang digunakan untuk mengukur kebenaran karya sastra?” Karya sastra memiliki kebenarannya sendiri, yaitu kebenaran imaginatif dan kebenaran sastra. Kebenaran sastra akan mental apabila hanya dihantam dengan ’yang rasional’. Di dalam karya sastra sedikit banyak diselipkan unsur kebetulan, namun oleh filsuf timur dikatakan bahwa di dunia ini tiada sesuatu yang kebetulan, karena semua hanya memenuhi takdirnya. Parameter kebenaran sesuatu dapat dilihat dari empat sumber lembaga kebenaran yaitu; agama, seni, sains, dan filsafat.

Berbicara tetang teks sastra, teks sastra penulis klasifikasikan menjadi tiga jenis, yang pertama adalah klasik, borjuis, dan radikal. Teks klasik memiliki ciri pakem, artinya semua unsur intrinsik yang ada dalam teks ceritera tidak boleh dirubah (contoh: ceritera wayang). Borjuis memiliki ciri sebagai karya sastra pesanan, artinya cerita rekaan atau carangan untuk kepentigan tertentu atau mengikuti selera penikmatnya. Sedangkan teks radikal memiliki ciri tanpa struktur, bebas, terlepas dari kaidah-kaidah etik – estetik konvensional.

3. 3 Ruang Kudus dan Ruang Profane

Setiap wujud produk, baik yang bersifat ide, benda, dan ’yang sosial’ sebenarnya telah memiliki pasar masing-masing, hanya secara kuantitas yang menjadi pembedanya secara eksplisit. Memang seharusnya pemerintah mengelola sebuah lembaga khusus yang menangani marketing produk seni, dan mampu menjadi wadah kreatifitas seniman, baik yang beraliran klasik maupun kontemporer. Cara lain yang seharusnya ditempuh adalah membuka wilayah otonom pemasaran produk, maksudnya memberi ruang gerak bagi masing-masing aliran seni, dan pada akhirnya akan menarik selera masing-masing pasar, peminat, dan pengamat. Untuk hal-hal seperti ini memang perlu menerapkan faham sekuler. Apabila di lihat dari pengertiannya, pengertian, pemahaman seni, seniman di jaman ini terasa kabur dan abstrak, hal ini sebenarnya akibat dari pergeseran nilai dari ’yang sakral’ ke profan. Pergeseran nilai inipun adalah karena imbas dari konsep pemikiran poststruktur.

Dalam hubungan sebagaimana diungkapkan di atas, partikular dan universal secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu sendiri.

Masalah representasi masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat, sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang mendukung keseluruhan.

Ruang kudus merupakan dimensi transenden bagi para kawi atau pujangga. Para kawi, pujangga menunaikan tugasnya menulis suatu karya sastra bukan semata-mata sebagai profesi, melainkan merupakan perjalanan, pengabdian religius (ibadah) contoh: serat Dewa Ruci, suluk makrifat Syekh Malaya, suluk Wujil, Sang Hyang Kamahayanikan. Mereka inilah yang selanjutnya disebut seorang ’yogi sastra’. Ruang profane sendiri memiliki pengertian konsumtif publik. Sastrawan, novelis, penyair menyajikan buah karyanya untuk masyarakat konsumen (publik), artinya memenuhi selera massa.

4. Sang Kreator

4. 1 Proses Kreatif

Sebelum karya sastra terlahir, ia mengalami proses kelahiran atau proses penciptaan. Mencipta berarti merubah sesuatu menjadi sesuatu yang bernilai baru atau mewujudkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah ada. Proses penciptaan karya dalam dunia sastra maupun seni merupakan perpaduan antara faktor internal dengan faktor yang datang dari luar. Biasanya faktor penciptaan diawali dengan pengalaman pribadi.

Seorang kreator memiliki kepekaan menangkap gejala sekitar. Sang kawi, mpu, pujangga, penyair/sastrawan yang dalam perkembangannya dijuluki pula novelis,cerpenis memiliki tugas menangkap suara (jeritan, ratapan, kebahagiaan) alam dan alam sekitarnya. Sastrawan ibarat lautan yang bersifat kamot lan momot secara harfiah berarti mampu ‘menampung’. Selain dengan banyak belajar (empiris; membaca, melihat, mengamati), seorang sastrawan seyogyanya selalu mengolah kepekaan intuisi (rasa) dengan tujuan agar lebih tanggap dan peka. Jangan sampai seorang sastrawan atau seniman sejati menyandang gelar “gedhong tanpa isi”, yang berarti covernya bagus namun kosong atau sepi hikmah.

Proses penciptaan sampai pada penciptaan berikutnya selalu melalui empat (4) ruang. Keempat ruang tersebut adalah (1) ide, (2) aktivitas berkarya (karya), (3) sajian (teks), dan (4) penikmat. Dimulai dari mendapat inspirasi, menemukan ide, menyusun konsep beru kemudian menuangkan ide tersebut ke dalam bentuk karya sastra (memerlukan penggarapan yang matang/proses yang cukup lama). Setelah karya sastra terlahir masalah yang dihadapi adalah penyajian. Di dalam penyajian, yang dihadapi adalah penikmat yang siap untuk memuji atau bahkan mencaci. Sastrawan menangkap respon penikmat untuk kemudian merefleksikan lagi ke dalam karya berikutnya. Proses semacam akan selalu terulang seperti sebuah siklus rantai makanan dari kelahiran satu karya ke kelahiran karya berikutnya.

4. 2 Menuju ke Kapitalisme

Setelah berakhirnya masa ‘kepujanggaan’ untuk selanjutnya disebut sastrawan. Tempo yang lebih lama menyebut penyair, pengarang dengan istilah ‘sang kawi’. Penulis lebih suka memberi sebutan baru bagi sastrawan sebagai ‘kreator’. Alasannya adalah karena memang secara faktual sebutan sebelumnya merupakan pagar-pagar feodalisme. Untuk menggugah semangat generasi berikutnya dalam hal ‘pengabdian’ di jagad sastra, batas-batas kesenjangan itu harus ditanggalkan.

Kehidupan seniman dan sastrawan kelas madya dan bawah sungguh sangat membingungkan pun memprihatinkan. Pasalnya, bagi para pelaku dan penghayat ’kesenian klasik’ menganggap bahwa bentuk-bentuk lain atau dekontruksi karya seni oleh seniman-seniman radikal untuk kemajuan, dianggap oleh seniman klasik sebagai wujud ’melacurkan seni’. Sementara di kepala para tokoh seni radikal, hal itu justru merupakan wujud pelestarian karya seni dengan jalan dekontruksi demi eksistensi kesenian atau karya itu sendiri. Dilema yang nampak adalah bahwa cita rasa jaman yang diperankan oleh beberapa kubu, seperti: kubu pelestari (klasik), penikmat, dan kubu pembaharu (radikal) selalu terjadi konflig hantam menghantam dan saling menjatuhkan antara satu kubu dengan kubu lainnya. Menyikapi fenomena semacam, munculah pertanyaan ”apakah ‘yang klasik’ mampu bertahan dalam kondisi hiper realis?”. Di sana-sini semua orang berkomentar, dan komentar-komentar itupun hanyalah tautologi yang selalu malah membawa persoalan-persoalan baru, bukanya sesuatu yang solutive.

Berbicara tentang produk budaya, maka kita (mau tidak mau) harus di/terpaksa melihat pasar. Pasar kultural akan berjalan berbeda jauh dengan pasar yang mementingkan pelayanan sosial. Sebagian pasar budaya merupakan cara untuk mendapatkan hal-hal yang sebelumnya bersifat aurastis, yang hanya tersedia bagi kaum elite kepada kelompok masyarakat yang lebih luas.

Kondisi hiper realis memang sudah membunuh keberadaan eksistensialisme, dimana si pelaku tidak lagi menjadi dirinya sendiri melainkan mencoba mengkloning diri menjadi orang atau sesuatu, produk yang lain. Pergeseran nilai-nilai sosial lokal selalu menimbulkan konflig, namun konflig sendiri merupakan ciri kemajuan, ciri pertahanan, dan ciri pelepasan. Dikatakan sebagai sebuah proses menuju kemajuan dengan alasan bahwa menurut teori konflig di dalam kehidupan sosial masyarakat pasti terjadi persaingan, dan yang dipersaingkan adalah sebuah ide, praktik, kenyataan yang dianggap sebagi kemajuan (jaman). Dikatakan sebagai pertahanan dengan alasan bahwa di suatu masyarakat pasti masih menyisakan ruang bagi kelompok penghayat tata nilai lama. Dalam kondisi pergeseran cita rasa jaman, orang-orang ini juga berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai yang diwarisinya secara kompetitif juga. Bagi seniman radikal, mereka menganggap semua yang ada merupakan belenggu, sehingga mereka mulai berfikir untuk mencari jalan keluar atau pembebasan walaupun akhirnya toh mereka akan terjebak dalam sistem struktur juga sebagaimana Derrida-pun tidak mampu menyatakan karyanya yang memang mustahil untuk dilaksanakan.

Berperilaku local berfikir global, nah itulah motto yang sering kita baca di liflet-liflet seminar, dan di baliho-baliho pinggiran jalan. Namun apa maksud sebenarnya dari moto berperilaku local dan berfikir global ini? Metode yang bisa ditempuh oleh para seniman klasik untuk bertahan adalah mengikuti cara tersebut dengan prinsip Jawa ”ngeli nanging ora keli’ yang artinya menghanyut boleh, tapi jangan benar-benar hanyut, dengan masih memegang prinsip-prinsip pokok. Mereka hanya perlu merubah kostum luarnya saja dengan menumpang pada hal-hal, sesuatu yang sedang banyak dicitrakan. Inilah yang penyusun maksudkan dengan berperilaku lokal berfikir global. Setelah melakukan observasi, penyusun memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai lokal tidak sepenuhnya hilang, karena memori itu tersimpan dalam superego yang digambarkan oleh Freud seperti fenomena gunung es terapung di tengah lautan. Dilihat dari paradikma teori konflik, fenomena persaingan seniman klasik dan radikal justru akan menjadi motivasi usaha yang kuat dari kedua belah pihak. Secara otomatis mereka akan mengembangkan tingkat kreatifitas dalam berkarya. Walaupun begitu, sudah dapat dipastikan bahwa kelompok yang satu akan menjadi ’yang asing’ bagi kelompok lainnya.

Apabila kita runut dari sejarah perkembangan karya seni, karya sastra, maka makalah ini akan begitu panjang lebar. Penyusun mengkonsentrasikan diri dan mencoba membuat prediksi-prediksi tentang apa yang akan terjadi pada diri seniman kelas madya ke bawah untuk beberapa tahun mendatang. Penyusun tidak berbicara tentang filsafat dan hakikat sebuah karya, namun akan lebih menyoroti ke dalam keadaan ’budaya konsumtive’. Di sini, perhatian utama terletak pada komunikasi dan objek-objek kultural. Selain itu, perlu disadari bahwa komoditas dan pasar tidak harus selalu merupakan hal yang sama. Dalam kapitalisme, cara-cara dan dan sasaran produksi harus memiliki kekuatan tukar.

Melihat indeks dan fakta yang ada, pembicaraan akan penyusun arahkan ke pembahasan tentang seni kemasan dan label. Sebagai contoh kecil penulis suguhkan fenomena celana jeans produk Tanah Abang; industri tekstil di Tanah Abang terkenal dalam memproduksi pakaian. Pakaian-pakaian itu di beli oleh pengusaha dagang produk kenamaan kemudian di bubuhi merk ’Lea’ buatan Amerika, lalu di kemas sangat menarik, dipasarkan di mall-mall besar dengan membandrol harga yang luar biasa mahal, toh laku juga. Keuntungan yang diraub si pengusaha pemilik merk dua kali lipat dari modal awal. Artinya, bahwa produk Tanah Abang merupakan simulakrum produk dan gaya Amerika. Kelemahan sistem kapitalisme seperti ini adalah produk dan local genius tidak memiliki kebanggaan fundamen. Tetap saja ada pihak yang di tindas, tidak jauh beda dari jaman revolusi industri. Menurut pengetahuan kosmologi Cina, fenomena tersebut disimpulkan bahwa belum terjadi keseimbangan antara ’Yin’ dan ’Yang’.

5. Sastra dan Seni

Penyebaran sebuah karya sastra maupun karya seni, mulai dari seni primitif, pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaannya besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom dan auratik penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer menurut penyusun adalah lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.

Para pencipta karya sastra atau karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Paradigma pergeseran nilai atau perubahan kondisi sosial budaya selalu mempengaruhi selera massa dan berbengaruh pula pada hasil atau kelahiran karya sastra.

Kasus semacam sebenarnya telah diprediksi (walaupun masih dalam sekala kecil) oleh R.Ng Ranggawarsita seorang pujangga besar keraton Kasunanan Surakarta yang menulis konsep ’Jaman Edan’ dalam serat ”Kalatidha-nya yang prinsipnya bahwa apabila jaman itu datang (jaman edan) namun kita tetap bersikukuh untuk tidak mengikuti polanya alias tidak ikut ngedan niscaya kita akan kelaparan. Namun selalu ada harapan sebagai pelipur lara yang menyertainya, bahwa janganlah kuatir karena keberuntungan orang yang sedang lupa (gila, edan) masih lebih besar keberuntungan manusia yang selalu sadar dan waspada.

Seniman belakangan yang sudah menangkap gejala semacam adalah seorang dalang maestro asal Klaten dan kemudian berdomisili di Semarang, yaitu Ki Nartosabdho. Beliau menunjukkan prediksi keadaan pergeseran kebudayaan dalam syair lagu ciptaanya yang berjudul ’Aja Dipleroki’. Dibawah ini syair lagu tersebut;

Mas mas mas aja dipleroki

Mas mas mas aja dipoyok’i

Karepku njaluk diesemi

Tingkah lakumu kudu ngerti cara

Aja ditinggal kabudayan ketimuran

Mengko gek keri ing jaman

Mbok yo sing eling, eling bab apa?

Iku budaya

Pancene bener kandhamu.

Penyusun tidak akan menguraikan panjang tentang keseluruhan maksud syair di atas, di sini hanya penyusun tekankan pada syair yang digaris bawahi. Dalam syair di atas telah terjadi divusi kebudayaan, yaitu bergesernya nilai, cara, dan adat timur oleh budaya kapitalis yang sudah mendekati kondisi postmodern. Ki Nartosabdho telah memberi peringatan bahwa janganlah malu dengan budaya sendiri, perkembangan jaman sesungguhnya adalah hanya perkembangan teknologi dan sains semata walaupun pada akhirnya memang mempengaruhi pola kehidupan berbudaya manusia. Kedua peringatan di atas merupakan prinsip baku yang masih dipegang oleh para seniman klasik dan para penghayat sampai jaman sekarang. Benang merah yang dapat diambil dari realitas kontemporer adalah bahwa apakah budaya itu sebenarnya? Penulis menganggab bahwa ’budaya’ itu adalah perubahan itu sendiri, ya, perubahan adalah budaya abadi.

6. Simpulan Renungan

Karya sastra merupakan hasil renungan/kontemplasi sastrawan dan kemudian merefleksikan ke dalam bentuk karya. Peristiwa yang ditangkap oleh sastrawan sendiri sebenarnya lebih merupakan sebuah terapi kejut. Ambil saja contoh R.Ng. Ronggowarsita dalam goresan tinta kalatida yang menyebutkan jaman edan. Salah satu tujuan karya sastra dan karya seni harus mampu ‘memanusiakan manusia’, dengan alasan bahwa manusia saat ini tidak lebih dari sekedar mesin produksi.

Pada hakikatnya, berkarya adalah bukan untuk menafsirkan yang kelihatan, tetapi menerjemahkan agar menjadi kelihatan. Produk klasik masih mampu mempertahankan ruang geraknya apabila dikelola dengan baik dengan jalan selalu berfikir kreatif, karena kreatifitas adalah salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang seniman.

Karya sastra sesungguhnya memiliki dunia tersendiri yaitu dunia imaginasi. Artinya beberapa kebenarannyapun (untuk beberapa karya sastra) adalah kebenaran imaginasi bahkan absurd. Dalam karya sastra maupun karya seni sesungguhnya tidak ada tetapan benar dan salah, buruk dan jelek, yang ada adalah mungguh dan ora mungguh alias pantas atau kurang pantas menurut kaidah etik – estetik setempat di mana karya sastra atau karya seni itu dicipta.

Pustaka Referensi

Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Andre Harjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Arif Hartarta. 2008. Mantra Pengasihan Jawa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Modern di Wilayah Kabupaten Klaten; Kajian Sosiologi Sastra. Surakarta: Perpustakaan FSSR UNS.

Baldwin, James Mark. 2007. History of Psychology; a sketch and an interpretation. Yogyakarta: Prismasophie

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Teory. Yogyakarta: Niagara

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Edy Tri Sulistyo. H. 2005. Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: UNS Prees.

Fromm, Erich, D.T. Suzuki, Martino, De Richard. 2004. Zen dan Psikoanalisis. Yogyakarta: Suwung.

Fromm, Erich. 1987. Seni Mencinta (terjemahan Ali Sugiharjanto, Apul D. Maharadja Jakarta). Jakarta: Bunda Karya.

Geertz, Clifford. 2000. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Heddy Shri Ahimsa Putra. 2006. Strukturalisme Levi Strauss; mitos dan karya sastra. Yokyakarta: Kepel Press.

Hesse, Hermann. 2002. Siddhartha. Jokjakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.

Lass, Scott. 2004. Sosiologi Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Filsafat.

Marcos, Subcomandante. 2005. Kata Adalah Senjata; Kumpulan Tulisan Terpilih 2001-2004. Yogyakarta: Resist Book.

Mudji Sutrisno, Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeunitika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Polycarpus Swantoro.2002. Dari Buku ke Buku; sambung menyambung menjadi satu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Raho, Bernard SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Presentasi Pustaka.

Soetarno. 1976. Peristiwa Sastra Indonesia. Surakarta: Widya Duta.

Striati, Dominic. 2004. Popular Cultur; pengantar menuju teori budaya. Yogyakarta: Bentang.

Sturrock, Jhon (ed). 2004. Strukturalisme Post-strukturalisme; dari Levi Strauss sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press.

S. Suharianto. 1980. Teori dan Apresiasi Puisi. Semarang:-----

Teeuw, A. 1984. SASTRA dan ILMU SASTRA: PENGANTAR TEORI SASTRA. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tjetje Jusuf. 1984. KACA DAN DEWAYANI: DONGENG-DONGENG INDIA. Jakarta: Pustaka Jaya.

Turner, Bryan. 2008. Tetori-Teori Sosiologi: Modernitas-Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zoetmulder. P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.